Keindahan Islam di Aceh

ISLAM di Aceh tumbuh bersama seni: keindahan. Pesona itu lahir lewat karya-karya para ulama. Salah satunya Hamzah Fansuri. Ulama sufi ini menciptakan banyak syair nan indah sebagai media menyebarkan Islam, misalnya Syair Perahu yang begitu menggugah.

Hamzah Fansuri juga diakui sebagai salah seorang tokoh besar dalam perkembangan Islam di nusantara. Dia pujangga Islam yang menghiasi lembaran sejarah kesusastraan Melayu dan Indonesia. Bersama keindahan lewat sajaknya, Fansuri mendunia.

Di bidang bahasa, ia cakap berceloteh Urdu, Parsi, Melayu, dan Jawa. Kebolehan ini ia dapat kala mengembara untuk merajut ilmu. Lokasi-lokasi yang ia datangi seperti Banten (Jawa Barat), semenanjung Tanah Melayu, India, Parsi, dan Arab.

Fansuri sangat mahir ilmu fikih, tasawuf, falsafah, mantik, ilmu kalam, sejarah, sastra, dan lain-lain. Ilmu-ilmu ini juga dimiliki beberapa ulama lain sepantarannya, seperti Syiah Kuala, Syamsuddin Sumatrani, dan Ar Raniry.

Walau mendunia, di Aceh Fansuri didera kritik. Perbedaan paham “wahdatul wujud” yang diusungnya menjadikan Fansuri berbeda kata dengan Syiah Kuala, keponakannya. Fansuri didukung Sumatrani, muridnya. Syiah Kuala dan Ar-Raniry sama-sama menegakkan “isnainiyatul wujud”.

Namun terlepas dari perbedaan itu, keempatnya menjadikan Aceh dikenal di mata dunia. Tentu kita tak dapat menafikan peran Sultan Malikussaleh di Samudera Pasai yang begitu gigih menyiarkan Islam di nusantara dan semenanjung Melayu.

Islam masuk ke Aceh pada abad ke-7 Masehi di Samudera Pasai dan Peureulak. Kerajaan Peureulak disebut sebagai kerajaan Islam pertama di nusantara, bahkan Asia Tenggara. Proses masuknya Islam ke Peureulak, ketika pada 651 Masehi, Khalifah Usman Bin Affan mengirim delegasi ke China. Delegasi itu singgah di Aceh sambil mengenalkan Islam.

Islam di Aceh berkembang seiring lahirnya ulama-ulama legendaris seperti disebutkan di atas tadi. Ketokohan mereka, selain karena kedekatan dan jabatan di kerajaan, juga lantaran buah pikir yang dihasilkan dalam menyiarkan Islam.

Sepanjang hidupnya, Syiah Kuala menggarap kitab tafsir, kitab hadis, kitab fikih, dan kitab tasawuf. Tarjuman al-Mustafid (Terjemah Pemberi Faedah), menjadi kitab tafsir Syiah Kuala yang pertama dihasilkan di Indonesia dan berbahasa Melayu.

Di antara sekian banyak karyanya, kitab tafsir berjudul Tarjuman al-Mustafid, dianggap penting bagi kemajuan Islam di Nusantara. Kitab ini beredar kawasan Melayu bahkan luar negeri. Tafsir ini telah banyak memberikan petunjuk sejarah keilmuan Islam di Melayu.

Buah pikir lain yang tak kalah fenomenal adalah Bustan as-Salatin (Taman Raja-Raja), karya besar Nuruddin Ar-Raniry. Kitab tersebut termasuk terlengkap di masanya. Isinya berbagai topik yang berbeda, mulai dari gabungan sastra, kenegaraan, pengobatan, eskatologi, hingga sejarah dunia. Dalam kitab itu, Nuruddin juga menulis tentang hari wafatnya Syamsuddin Sumatrani pada 12 Rajab 1038 Hijriah.

Semasa hidup, Syamsuddin banyak menyiarkan pemikirannya dengan syair. Dia mengulas syair-syair sang guru seperti Syarah Rubai Hamzah Fansury. Karya Syamsuddin paling terkenal adalah Jauharul Haqa’iq (Permata Kebenaran). Buku ini menjelaskan tentang martabat tujuh; ajaran tasawuf yang dikembangkan Syamsuddin dari Fansuri. Begitulah, Islam di Aceh hidup dan berkembang dalam keindahan.[atjehpost.com]

1 komentar:

Unknown said...

sangat bermanfaat sob ku harap berkunjung juga ke blog ku

Post a Comment